NURANI

Januari 5, 2008
“Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
Membawa orang ke mata air”

Penggalan sajak Kerendahan Hati karya Taufik Ismail tersebut mengingatkan saya pada sebuah cerita tentang salah satu tokoh NU, Mbah Muchit beliau biasa dipanggil. Beliau menetap dirumah sederhana yang bersebelahan langsung dengan masjid Sunan Kalijaga, Jl Kalimantan, Tegal Boto Jember. “Kebanyakan warga NU lebih suka menjadi supir, tidak ada yang mau menjadi montir” ujar beliau beberapa waktu lalu.

Mbah Muchit tidak pernah mengikuti arus politik, yang sekarang menjadi “profesi” baru ulama kita. Beliau hanya ingin menjadi jalan setapak bagi umatnya, tidak perlu menjadi jalan utama, yang penuh lubang, akan tetapi cukup jalan setapak yang membawa setiap orang ke mata air.

Sebagai insan gerakan kita tidak perlu “ketakutan” menghadapi persoalan. Kierkigard pernah mengatakan bahwa untuk menemukan diri kita yang sebenarnya, kita harus terjun ke lubang yang belum pernah kita ketahui sebelumnya. Bergerak maju dengan tangan tetap terkepal merupakan simbol resistensi atas ketimpangan sosial disekitar kita. Tidak boleh berpangku tangan dan membiarkan kedzoliman memangkas kedamaian di tanah Tuhan ini.

Saya juga teringat Mustofa Bisri pernah menulis seperti ini.

 ”jadi apa lagi
yang bisa kita lakukan
bila mata sengaja dipejamkan
telinga sengaja ditulikan
nurani mati rasa”

Kesadaran adalah hukum terkejam dari Tuhan. Kita dibuat tahu tapi tidak mengerti, kita disuruh hafal tapi tidak paham. Negara, kapitalisme, lingkungan, kampus dan bahkan pacar telah mengkonstruk kita pada ideologi “semau gue“. Apa yang menjadi permasalahan pribadi adalah konsumsi publik, dan masalah publik bukan konsumsi pribadi. Heran juga saya, kenapa di dalam pendidikan tidak mengenal kemiskinan, akan tetapi pemiskinan.

Sebagai manusia kita sebenarnya memiliki perangkat lunak, yaitu nurani. Setebal apapun kabut pekat yang menyelimutimu suatu ketika kau akan merasa bersalah dan punya keinginan untuk merubah diri, meskipun itu terasa sulit. Jaman sekarang ini untuk “bernurani” tidak terlalu sulit, mengundang stasiun TV ketika memberi sumbangan, berbicara terlalu banyak sesaat setelah bersedakah, menolong sesama hanya saat benar-benar menguntungkan secara politis.

Sudahlah, kita cukup menjadi mahasiwa saja. Kita tidak perlu menjadi orang besar untuk melakukan tindakan besar. Lebih dari cukup hanya berbekal nurani, tak usah pangkat atau kepentingan, karena kita manusia bukan rongsokan yang kebetulan diciptakan.

“Tidaklah semua menjadi kapten
 tentu harus ada awak kapalnya….
 Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
 rendahnya nilai dirimu
 Jadilah saja dirimu….
 Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri”.


SAJAK UNTUK KAWAN-KAWAN REVOLUSIONERKU

Desember 20, 2007

Kurang lebih, dua tahun beberapa bulan

Kita mulai merajut tawa bersama

Akar-akar mulai tumbuh

dikedua jarak kaki kita

Daun-daun mulai mekar

dikedua jarak tangan kita

Warna-warni bunga mulai kuncup

dikedua jarak mata kita

kemarin bersamasama kita

telah mengatakan tidak

pada sebuah

kemungkaran

ketidakadilan

akarakar itu telah menyatu

kuat

daundaun itu telah bersemi

hijau

bungabunga itu telah mekar

wangi

kalian adalah

cerita tentang

keberanian

kalian adalah

kisah tentang

kebersamaan

cinta kasih

dan

keadilan. . . .

 

 

 

16 Desember 2007

 

 

 

 

 

 

 


galau

Desember 20, 2007

disebrang waktu

aku mulai jatuh hati

padamu.

jelaga waktu

menggantung kesadaran

menjadikannya

sekatsekat

galau,

sebentarbentar

dingin

sebentarbentar

panas

 

 

16 Desember 2007


KULIAH KOPI

Desember 5, 2007

Gemericik air tumpah, tanah gersang yang kupijak mendadak terasa begitu sejuk. Kekeruhan hatiku menghilang bersama lari kencangku menghindari hujan.

Jangan lari-larian, licin!. Teriak salah satu dosenku.

Cuek saja pikirku, kalau tidak berlarian basah kuyup aku nantinya. Lariku yang kencang, telah membawaku sampai ditempat tujuanku, kantin.

Habis kuliah apa bro?. Tanya temanku.

Kajian puisi”. Sahutku cepat. “Kamu gak ada kuliah”.

Lagi males, lagian hujan gini, dosennya males juga kali.

Ah! Bisa aja, alasan kamu”. Sembari membersihkan serpihan-serpihan air di bajuku. aku masuk kekantin untuk memesan teh hangat kesukaanku, lalu berjalan keluar lagi duduk disebelah kawanku.

Memangnya Kuliah apaan?” tanyaku

Kuliah kopi”. Jawabnya enteng. “maksudnya!”. Aku keheranan

Ya! Kuliah kopi, artinya kuliah dengan kopi”. Aku masih keheranan tak mengerti maksudnya.

Kamu tadi kuliah kajian puisi, berarti kuliah dengan puisi”. “Lantas”. Sahutku.

Berarti aku kuliah kopi, soalnya aku sekarang dengan kopi’. Sambil meminum kopinya.

Sama denganmu”. “Apanya yang sama, beda bro”. Timpalku.

Apanya yang beda, puisi itu kehidupan, kopi ini juga kehidupan. Kalaupun puisi itu disebut karya sastra, itu hanya kebetulan saja.”

Kebetulan bagaimana, puisi mempunyai makna dan gaya bahasa tinggi”. Sahutku dengan nada mengejek. “Oh! Begitu”. Jawabnya singkat.

Nak! Teh hangatnya sudah jadi”. Teriak ibu kantin. “Sebentar, aku ambil minumanku dulu.” Aku bergegas masuk dan dengan cepat kembali lagi.

Hujan belum reda betul, disini hanya kami berdua dan ibu kantin yang sibuk didapur. Kawan-kawan yang lain duduk-duduk didepan kelas menunggu hujan reda dan yang lain sibuk mendengarkan kuliah dikelas. Sepertinya lama sekali hujan tak kunjung reda, terasa begitu hangat kerongkonganku dilalui oleh lumuruan teh hangat buatan ibu kantin. Ibu yang dengan setianya menunggu para mahasiswa untuk memberinya sebagian penyambung hidupnya.

Kawanku terlihat begitu tenang meneguk tetes demi tetes kopi di tangan kanannya.

Sekarang kamu kuliah teh bro!. Komentarnya cepat. “Kuliah teh, maksudnya.”

Dasar! Semester V masih aja bego, kamu itu semester V atau ngaku semester V.” sahutnya dengan nada mengejek.

Nyindir nih!”. “Bukan gitu, kamu kalo diajak ngomong selalu ndak nyambung.”

Kamu yang ndak nyambung”. Dengan nada membela diri. “Masak kuliah kok kuliah kopi, aku juga kamu bilang kuliah teh.”

Sejenak debatku terhenti, dengan santainya ia meneguk lagi tetes demi tetes kopi ditangan kanannya, seperti tidak menghiraukanku.

Aku berada didunia yang sulit untuk kau nikmati”.

Getir pekat membuka sekat diruang mimpiku dan membawanya diujung fikiranku”.

Heh! Sedang membicarakan apa kamu.”

Sedari tadi yang kulihat hanya kesempurnaan, seperti kopi, manis dan pekat.”

Oh! Kamu sedang membicarakan kopi.” Sahutku keras sembari meneguk teh hangatku. “Manis dan kuning.” Lanjutku.

Kamu sedang membicarakan kekasihmu bro?”

Kamu sendiri sedang berbicara apa, manis dan pekat.” “Kekasihmu juga.” Sindirku.

Hehh!” Kembali ia teguk tetes demi tetes kopi ditangan kanannya. Ia seperti sedang menyebrangi lautan luas yang tak mungkin aku bisa mengejarnya. Dia hanya tersenyum sedikit, dan diam sepanjang waktu yang dia punya. Entah diam karena apa, tapi sekarang aku sadar, dia lebih tahu banyak dari aku.

Kekasih!” celetuknya. “Kekasih manis dan kuning, apakah itu cukup!”

Kenapa emang?” timpalku. “Semua orang memuji kekasihku, bahkan sudah banyak orang yang sakit hati karena dia tolak.”

Dan kamu sendiri?”

Aku punya segalanya untuk mendapatkannya, apapun yang dia inginkan.”

Tapi tidak yang benar-benar dibutuhkan!”

Maksudmu?”

Tidak perlu dijelaskan bro!” tanggapnya pendek.

Harus dijelaskan bro, soalnya aku tidak paham.”

Kalau aku menjelaskan semuanya, waktuku bisa habis. Lebih baik kau cari sendiri.”

Tapi!”

Sudahlah, minum lagi teh mu.” Perintahnya datar.

Sudah lama memang aku mengenalnya, tapi tidak sedekat ini. Dulu dia selalu duduk dibarisan belakang waktu kuliah, datang selalu terlambat dan pulang terlalu cepat. Sepertinya ada dunia lain yang sedang coba dia kejar, hingga dia kehilangan orang-orang seperti kami dalam kesehariannya. Meskipun lebih dari dua tahun kita sekelas akan tetapi seperti baru dua menit kita bertemu. Aku harus belajar lagi untuk lebih mengenalnya. Sungguh aneh orang-orang ini, mereka terlalu berfikir jauh, sedangkan kebanyakan orang tidak. Tidak mengerti aku.

Sudah selesai nglamunnya.” Potongnya tiba-tiba.

Eh! Maaf jadi ndak konsen.”

Kuliah kopi itu seperti kebebasan, tanpa sekat yang membedakan antara miskin dan kaya, pahit atau manis.”

Memangnya seenak itu kuliah kopi.”

Ia dinikmati oleh siapa saja, tidak perlu membayar mahal-mahal bagi orang kecil seperti aku ini. Cukup 1000 rupiah.”

Apa yang kamu dapat dari hal-hal seperti itu, duduk-duduk menikmati hidup sendiri dengan segelas kopi.” Ia berdiri sejenak membetulkan sandal jepitnya.

Aku tidak punya waktu banyak untuk cerita bro!”

Tidak perlu cerita yang panjang-panjang.”

Dia membuka tasnya dan sibuk seperti mencari sesuatu yang berharga. Tiba-tiba ia melemparkan sebuah buku kepadaku.

BUMI MANUSIA!”

Baca, lalu kita diskusi.” “Apa ini?” tanyaku heran

Roman.”

Penting ya baca kayak ginian!”

Katanya mau cerita, ya itu di baca, sama saja dengan bercerita.”

Ini namanya baca.”

Itu yang harus kamu biasakan.” Aku membuka beberapa halaman, dan segera menutupnya kembali.

Kenapa! Tidak suka, apa perlu di belikan rokok.”

Oh tidak perlu, biar nanti tak baca dikosan.”

Sepertinya akan sulit sekali membiasakan sesuatu yang tidak biasa dikerjakan. Dulu ayahku juga pernah menyuruhku untuk belajar ngaji sehabis maghrib di surau. Tapi setelah sekolah SMP aku sudah lupa dengan kebiasaan itu. Kalau sekarang disuruh mengaji di surau, lebih baik aku jalan-jalan dengan motor besarku. Biarlah waktu kecil saja aku terbiasa dengan itu, sekarang sepertinya membosankan.

Bro!” kataku bingung.

Kenapa, tidak sanggup.”

Aku tidak punya bakat membaca.”

Menurutmu, makan memerlukan bakat tidak.”

Tapi!”

Aku tidak bisa melanjutkan protesku, karena kulihat dia melihatku dengan mata yang tajam. Sepertinya dia begitu percaya denganku.

Baiklah, ku coba dulu.”

Begini! Kopi perlu proses panjang untuk sampai di kerongkongan. Dia harus dipetik dari pohonnya, lalu dijemur, diolah dan menjadi bubuk.” Ia berhenti sejenak meneguk lagi tetes demi tetes kopi ditangan kanannya.

Lalu dikemas. Sampai disitu, diangkut mobil-mobil untuk didistribusikan ketoko-toko dan pasar.”

Dan dibeli ibu, lalu disuguhkan ke kita.”

Tepat!” Sahutnya cepat.

Berarti butuh proses yang sangat panjang untuk kopi sampai terseduh nikmat.”

Untuk kuliah kopi kamu sudah dapat satu tatap muka bro,.” Ia berdiri dan mengemasi tasnya.

Mau kemana? Kita belum selesaikan.”

Aku harus kuliah.”

Tumben.”

Ia bergegas masuk kekantin, lalu keluar lagi meninggalkan kantin.

Woe! Emang kuliah apa?”

Kuliah jalanan.” Jawabnya sambil berlalu.

Ada-ada saja kawanku yang satu ini, kuliah kopi lalu kuliah jalanan. Memangnya yang jadi dosen siapa, kok kuliah semaunya. Aku masih terpaku melihat kawanku berjalan cepat lalu hilang di tikungan kelas. Aku harus segera pulang, soalnya kawan-kawanku pasti sudah menunggu. Hari ini adalah waktunya untuk bersenang-senang. Biarlah BUMI MANUSIA ku baca kapan-kapan saja.[]

 

Jember, November 2007


HANS

Desember 5, 2007

 

Hans sudah sore cepat mandi, nanti asarnya keburu abis!”. “Iya Bu, tanggung lagi seru main bolanya” sahutku cepat.

Tiba-tiba telingaku terasa panas dan seperti ditarik kencang.

Kenapa sih Bu pakek narik telinga segala, Hanskan sudah besar”. Tubuhku meronta-ronta minta dilepaskan. “Kamu itu tidak lihat apa Ibu sampai harus berteriak-teriak, apa Hans tidak lihat Ibu sedang menyapu, disuruh cepat mandi saja susah amat”. “Tapi tidak harus kayak gini Bu, kan malu dilihat teman-teman” Sahutku sewot. “Kenapa harus malu, kamu tidak segera sholat tidak malu sama Allah!” tangan ibu mulai terlepas dan aku bergegas masuk kamar mandi. “Bu!”. “Kenapa! minta dimandiin? katanya sudah besar” sahut ibu dengan nada masih marah. Aku berfikir sebentar, “Gak apa-apa Bu” sahutku pelan.

Ibu adalah satu-satunya orang yang tersisa untukku, aku tidak tahu ayah dimana. Satu tahun yang lalu ibu bercerita kalau ayah telah diambil oleh Allah, kenapa harus diambil tanyaku saat itu dan ibu hanya menerangkan bahwa semua yang ada adalah milik Allah, oleh sebab itu harus kembali kepadanya pula. Tapi ayah adalah milik kita, kenapa Allah merebutnya, dimana Dia sekarang aku ingin menemuinya dan meminta ayah dikembalikan. Saat itu ibu hanya mengusap kepalaku dan berkata kalau aku masih terlalu kecil unutk memahaminya.

Ibu adalah perempuan tegar yang tak pernah takut menghadapi apapun, hanya akulah yang beliau takutkan, masa depanku, cita-citaku, dan kerinduan terhadap ayahku. Langit itu tempat yang maha luas, akan tetapi dia hanya menjadi bungkus bumi yang kecil.